Me, my self, and I.

I'm a thinker. A deep one. But i kept it all in silences.
Coz silence for me is a diamond. More precious than gold.
Instead of talking bullshit with everyone without action, i prefer write it down.
I'm not smart or playing a smart role here.
I'm not trying to brain washed your head.
But trying to share my A-Z effort to balancing my logical mind and my emotional feeling.

Saturday, September 25, 2010

Beliau.

23 Februari 1923. Eyang putriku lahir. Beliau adalah sosok yang sangat aku idolakan. Beliau 'Kartini'-ku. Dengan keempat putra-putrinya. Beliau adalah janda ditinggal wafat suaminya. Eyang kakung yg tak pernah aku sempat kenal. Meninggal di pulau Bali. Eyang kakung meninggalkan eyang putri janda dalam keadaan hamil dengan 2 putri kecil, dan satu putra kecil. Eyang putri membesarkan keempat anaknya. 2 putri dan 2 putra. Berjualan di pasar. Menitipkan anak-anaknya ke saudara iparnya. Hingga akhirnya kedua putrinya hanya tamat SMA, bekerja demi perguruan tinggi kedua adiknya. Dan kedua putra eyang putri meraih S2. Semua putra-putrinya yg yatim jadi 'orang'.

Eyang putri lahir di keluarga kejawen yang kolot di Demak. Beliau pun menjadi sosok wanita Jawa yg kental dengan pribadi kolot. Eyang putri ikut mama tinggal di rumahku di Jakarta. Karena mama yg paling bisa mengimbangi pribadi eyang dibanding putra-putrinya yg lain. Atau karena eyang putri kasihan dengan cucu-cucunya ditinggal mama-papanya bekerja. Eyang putri menjadi sosok mama yg kedua bagi ketiga putri mama-papa. Bagi aku. Masakan yg kita makan sehari-hari di rumah adalah masakan eyang putri. Pendidikan di luar sekolah yg kami terima juga termasuk dari eyang putri. Nasehat-nasehat, hukuman-hukuman, canda tawa, argumen-argumen, semua.

Aku ingat betapa kerasnya beliau mengajarkan kami membaca-berhitung. Hukuman-hukuman yg aku anggap terlampau disiplin dari wanita tua Jawa. Yang pada dasarnya karena kepedulian dan rasa kasih-sayang seorang nenek pada cucunya. Eyang putri yang selama hidupnya 'berjuang'. Yang masa tua seharusnya dihabiskan dengan menikmati balasan putra-putrinya. Tetapi seperti memiliki putri-putri lagi, yaitu ketiga cucu perempuan dari mama yg harus diasuhnya. Hingga setiap mama berangkat bekerja, aku berlari keluar gerbang rumah menangis memanggil mama. Merengek mama untuk kembali. Supaya aku tidak usah diasuh eyang putri hari itu. Tapi tentunya tidak ada daya. Dan aku hanya anak kecil. Saat bermainpun aku sudah lupa. Toh aku tetap menikmati semua suapan eyang putri. Menikmati semua masakan eyang putri. Hingga jarangnya kami jajan. Karena setiap sore eyang membuatkan jajanan sore.

Tidak hanya masakan, ajaran, tapi hingga jahitan baju, potongan rambut, wali orang tua saat pengambilan raport. Eyang putriku adalah juaranya. Bahkan liburanku terisi oleh 'plesir-plesir' naik kereta api dengan eyang putri. Begitu banyak memori indah yang menutupi semua tangisanku menahan sakit hukuman eyang karena aku memang nakal waktu kecil dulu. Terutama saat aku, kami, semua sakit. Yang mengantar ke dokter, yang memanjakan dengan membuatkan masakan penggugah selera di saat kami sakit adalah cuma eyang putri. Bubur menado, sayur bening, semur daging kentang, bubur ketan item, bubur kacang hijau, kue-kue, es-es segar, puding, dan masih ribuan bahkan puluh ribuan masakan yg sudah mendarah daging. Bahkan hingga kini kami selalu membandingkan kelezatan masakan dengan rasa masakan eyang. Tak ada bandingannya. Dibuat dengan kasih sayang seorang eyang putri.

Yang aku sesalkan. Ketika aku beranjak dewasa. Ketika aku mulai disibukkan dengan teman, jatuh cinta, dan segala masalah 'ABG'. Aku, kami cucu-cucunya banyak berdebat dengan beliau terutama. Perbedaan jaman beliau, perbedaan pendidikan beliau, perbedaan domisili beliau, yg sebenarnya tidak ada satu pun merugikan kami pada akhirnya, membuat kami sering bertengkar. Padahal hanya doa yang baik yang keluar dari beliau, eyang putri kami. Seorang eyang putri Jawa yang kolot (menurut kami), yg sudah sangat-sangat banyak menerima perubahan budaya di Jakarta.

Aku sibuk dengan duniaku. Berharap cepat dewasa dan mandiri keluar dari rumah. Padahal belum membalas jasa-jasa beliau, eyang putri, apalagi mama-papa. Sibuk dengan teman-teman, sibuk memikirkan cinta. Yang ternyata cinta monyet. Sibuk ingin mencintai-dicintai orang yang sama sekali tidak menerima kita apa adanya. Sedangkan di rumah ada beliau-beliau, eyang dan orang tua. Mereka yang sudah pasti selalu membuka tangannya untuk kita. Yang sudah berjuta-juta kali menuruti kemauan kita sedari kecil, berjuta-juta kali memberi kesempatan kita untuk menyadari bahwa mereka hanya berniat baik, hanya punya doa-doa yang baik, hanya punya harapan-harapan yg baik untuk masa depan kita. Yang tentunya tulus, tanpa meminta balasan jasa. Mereka yang dipercayakan untuk dititipkan kita oleh Yang Maha Kuasa. Beliau-beliau. Mama-papa. Dan juga bagiku, bagi kami cucu-cucunya, eyang putri.

Hidup tanpa sadar. Menikmati cinta buta. Menikmati dunia kuliah dan dunia kerja. Hanya menyisihkan sedikit waktu, berbagi sedikit kebanggaan-kebahagian. Dan mungkin lebih banyak mengecewakan eyang putri, juga mama-papa. Padahal semakin sedikit waktu yang tersisa untuk membalas jasa yg mereka tidak pernah minta. Padahal seiring kita dewasa, mereka pun bertambah tua.

Hingga suatu hari eyang putri benar-benar sakit. Benar-benar sakit?! Karena seumur hidupnya dia hampir tidak pernah dan tidak mau mengeluh. Vonis dokter yang eyang putri sendiri tidak pernah dengar. Kanker. Dokter sendiri heran karena proses hingga stadium tersebut, seseorang pasti sudah sering merasakan sakit yang luar biasa. Sudah pasti kita sekeluarga kecolongan. Tentunya karena eyang putri kami, eyang putriku, adalah sosok yg angkuh, tak mau mengakui rasa sakitnya selama ini. Tidak ada keluhan-keluhan yang seharusnya dapat menjadi pencegahan-pencegahan yang secara medikal bisa kami usahakan. Angkuh. Atau.. memang beliau kuat? Atau memang beliau menahan rasa sakitnya selama ini.. Semata-mata agar kami semua tidak khawatir? Hebat. Saat itu beliau berumur 86. Hampir 4-5 x umurku. Melawan kanker rahim.

Seumur hidup eyang putri. Ketika beliau sakit. Beliau hampir tidak pernah minum obat dokter. Beliau masih sangat kolot. Sehingga menggunakan obat dan cara tradisional untuk menyembuhkan. 'Panadol' biru setengah butir saja sudah dapat menyembuhkan sakit panasnya. Karena itu pula tubuh beliau kaget menerima obat penahan rasa sakit kankernya. Yang menyebabkan beliau hampir koma. Sering tidak sadarkan diri. Di rumah sakit. Semarang. Di Semarang ada bude, putri pertama eyang, kakak mama, tinggal bersama keluarga besarnya. Eyang bisa sampai disana juga seharusnya karena rencana ditemani naik Haji kloter Semarang oleh mama. Yang mungkin sebenarnya merupakan panggilan Haji dari Allah untuk mama. Takdir. Dengan koper Haji hijau besar dan perlengkapan di dalamnya, sudah pasti eyang sudah terdaftar. Kami semua mempertimbangkan dan sepakat untuk tidak memberi tau untuk maksud yg baik. Eyang justru sedang berjuang melawan kanker yang eyang putri sendiri tidak ketahui.

Batas terakhir sebelum beliau sering tidak sadarkan diri, hingga membutuhkan suster jaga di sampingnya. Eyang Alhamdulillah masih menerima berita dan memori baik. Saat itu aku sempat memamerkan foto wisudaku di handphone. Aku sudah lulus S1. Bahkan beberapa saudara yg menjenguk di hari itu, sempat eyang sampaikan tentang kelulusankan. Ini bagian dimana sedikit kebahagiaan dan kebanggaan yg baru bisa aku berikan pada beliau. Mungkin itu input memori positif terakhir dariku yg diterima eyang. Aku jadi sarjana.

Bulan-bulan itu aku sibuk dengan kelulusan-part time-patah hati. Hahaha.. Setiap libur 2 hari aku sempatkan naik kereta api ke Semarang menemani eyang di RS. Mungkin kurang dari atau hanya 5x ke sana. Karena perkembangan kanker itu cepat. Sudah 2 atau 3 bulan perawatan eyang putri di Jakarta-Semarang. Mama baru beberapa hari pulang dari Haji. Aku baru pulang part time. 13 Januari 2009. Eyang putriku wafat. Perjalanan pulang sudah dekat rumah. Aku menerima telfon dari rumah. Berita yang seharusnya sudah tidak mengagetkan lagi. Tapi akan selalu menyedihkan. Papa yang semenjak pensiun sering tidak cocok dengan eyang putri, aku lihat menangis. Sangat jarang, hampir tidak pernah malah, menangis menyampaikan kronologi eyang meninggal. Mama dan kakak pertamaku sudah berangkat duluan ke Semarang. Dan kemudian aku-papa dan kakak kedua beserta keluarga kecilnya berangkat setelah mendapat pesawat paling pagi untuk tetap dapat memandikan-menyolatkan-menguburkan eyang putri.

Menangis sedikit-sedikit selama perjalanan. Masih bisa berusaha ikhlas. Tetapi ketika melihat jenazah eyang puteri terbujur kaku. Aku dan kakak keduaku histeris. Sosok yang ada seumur hidupku kini telah pergi. Tangisan tidak ada henti-hentinya. Hingga tubuhnya yang mengecil kurus karena sakit yg dideritanya, terkubur oleh tanah. Hanya lamunan dan flash back semua memori tentang eyang yg terlintas di kepala kami. Kami. Seluruh keluarga besar. Dari 4 putra-putrinya. Hingga 11 cucu-cucunya. Dan 7 cicitnya. Berkumpul di ruang keluarga. Tanpa eyang puteri. Pemersatu kami semua. Berbagi kesedihan, memori indah, dan kenang-kenangan yg ditinggalkan ibu Almarhumah Soemarmi.

Bagiku kenang-kenangan dari eyang putriku adalah harta karun tak ternilai. Satu cincinnya yg merupakan favoritku, yg dijanjikan padaku saat aku menemukan sekotak perhiasannya yg sempat hilang. Yang ternyata kotak itu, eyang sendiri yg lupa menyimpannya. Atau memang mungkin cincin itu berjodoh denganku. Tapi itu hanya barang atau benda mati. Karena memori tentang eyang puteri tidak dapat terhapus. Nasehat dan ajarannya selalu terlintas. Bahkan hingga kini beliau masih mengunjungi mimpi-mimpiku. Semoga Allah menerima eyang putriku si wanita angkuh, kolot, kuat, tegar, hebat, yang sebenarnya ibu lembut penuh dengan doa-doa terhadap anak-cucu-cicitnya di sisi-Nya.

Tiada lagi yang dapat kubagi denganmu eyang. Kita biasa tidur bersama, berbagi cerita, bersebelahan di kereta api, berebut kopi atau teh, berbagi kue atau makanan, dan masih berjuta kenangan yang dengan sendirinya tersortir indah.. Tiada lagi kesempatan membalas tulusnya kasih sayangmu, kecuali melalui doa.. I love u eyang putri. Always.